Des 23
Menghadapi kondisi yang berubah-ubah pada anak remaja memang tidak mudah, terutama jika komunikasi antara orangtua dengan anak kurang terjalin dengan baik. Orangtua selalu sibuk dengan urusannya masing-masing sehingga jarang sekali memiliki waktu untuk ‘mendengarkan isi hati’ anak. Orangtua tidak tahu apa yang sedang terjadi dan yang sedang dirasakan anak, begitu juga anak kadang-kadang ia merasa segan untuk berbicara pada orangtua.
Perubahan emosional pada anak remaja tidak jarang membuat orangtua merasa frustrasi, tidak tahu harus dengan cara apa mereka mengarahkan dan mengatur anak remajanya, terlebih ketika ia sudah menjawab pertanyaan orangtua dengan jawaban yang pendek-pendek, misalnya:
“Bagaimana tadi di sekolah Nak, apakah menyenangkan?”
“ Ya, gitulah”
“Apakah tugas matematikanya sudah diserahkan?”
“Sudah”
Dalam benak remaja, boleh jadi ia tidak bermaksud untuk bersikap egoistis dengan bersikap seolah-olah dialah yang selalu harus dimengerti dan dipahami, tetapi itu karena ia sedang mencoba untuk mencari situasi mana yang dirasa tepat baginya.
Ketika terjadi suatu pembicaraan antara orangtua dengan remaja, seringkali menimbulkan dua sudut pandang yang berbeda, di mana orangtua terpaku pada perspektif mereka sebagai orangtua dan remaja pada perspektif mereka sebagai remaja. Ketika salah satu pihak menganggap posisinya tertantang, ia akan bertahan lebih kuat pada sudut pandangnya sendiri (Bobbi2011).
Pada saat anak remaja merasa dirinya serba salah dan tidak berdaya dengan semua perubahan yang terjadi pada dirinya, ia kerap berpikir bahwa orangtuanya tidak memahami dan tidak mau mengerti dirinya.
Sesungguhnya anak remaja sangat membutuhkan orangtua yang selalu siap untuk ‘mendengarkan’nya. Anak remaja ingin didengar dan dipahami lebih dari segalanya. Ketika orangtua mampu ‘mendengarkan dan memahami’ remaja, iapun akan terinspirasi untuk mendengar dan memahami orang lain termasuk kita sebagai orangtuanya. Oleh karena itu, temukanlah cara yang paling nyaman untuk dapat mendekati dan berbicara dengan anak remaja, sebab dengan demikian akan mempermudah orangtua berinteraksi dengannya. (yer)
Des 21
Kita perlu memahami bahwa setiap orang memiliki cara belajar masing-masing yang berbeda, tentu cara tersebut merupakan cara yang dirasakan sangat optimal untuk dirinya. Sebagian anak ada yang merasa lebih optimal ketika belajar dalam suasana yang minimal suara (sepi), tetapi bagi sebagian anak lainnya justru belajar sambil mendengarkan lagu-lagu atau musik dapat membuatnya lebih mudah menyerap apa yang sedang dipelajarinya.
Ilustrasi: www.123rf.com
Belajar dengan cara diporsir atau menggunakan sistem kebut semalam (SKS) tanpa diselingi dengan istirahat sejenak merupakan tindakan yang kurang bijaksana. Biasanya, ketika otak dipaksa untuk menampung banyak informasi dalam satu waktu yang sama, otak manusia akan lebih sulit menyerap informasi tersebut, otak akan lebih mudah merasa lelah dan jenuh. Berbeda ketika seseorang belajar dalam banyak kesempatan, maksudnya membagi-bagi waktu belajar menjadi beberapa sesi yang diselingi dengan waktu rehat, hasilnya akan lebih optimal. Seperti yang diungkapkan oleh Bobbi DePorter (2011), melakukan rehat pada interval waktu yang tepat dapat membantu seseorang belajar dengan lebih baik. Ketika seseorang sedang belajar, biasanya lebih baik pada awal dan akhir sesi belajar. Semakin seseorang memecah-mecah waktu belajar menjadi beberapa bagian, semakin banyak momen belajar optimal yang dapat diciptakan untuk dirinya. (yer)
Waktu makan telah tiba. Inilah waktu di mana orangtua dan anak terkadang merasa tidak nyaman, di antara mereka terjadi adu argumentasi, anak bersikeras tidak mau makan atau tidak mau menghabiskan makanannya, sedangkan orangtua tetap meminta anak menghabiskan makanannya. Pada situasi seperti inilah biasanya orangtua dan anak menjadi sama-sama tidak sabar dan marah.
Ketika orangtua meminta anak menghabiskan makanannya, sebagai bentuk penolakan dari anak, berbagai alasan akan ia lakukan, misalnya dengan cara mengeluh bahwa ia tidak suka makanan tersebut, makanannya tidak enak sehingga ia mengunyah makanannya dengan sangat lambat, bahkan diemut atau makanan tersebut dijadikan mainan sehingga berceceran di lantai. Jika situasinya seperti ini, orangtua biasanya merasa tegang dan jadi tidak sabar. Untuk mensiasati supaya hal ini tidak terjadi terus menerus, ada beberapa tips (Jacob Azerrad:2005) yang dapat dilakukan orangtua, yaitu